I. PENDAHULUAN
Sebagai mahluk hidup, manusia memiliki berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan hidupnya sendiri. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut , manusia telah melakukan berbagai macam kegiatan di lingkungan hidupnya. Kegiatan ini baik secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada lingkungan.
Perubahan lingkungan hidup yang dapat dilihat secara langsung antara lain perubahan areal lingkungan yang diakibatkan kegiatan pembukaan lahan untuk areal perkebunan dan pertanian, perubahan fungsi pertanian menjadi areal pemukiman, serta pembalakan liar untuk membuka bidang areal baru.
Perubahan ini memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kelangsungan hidup ekosistem yang ada termasuk munculnya berbagai polusi yang secara visual tidak terlihat. Ekosistem sendiri diartikan sebagai tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuhmenyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Ketika ekosistem ini terganggu, maka tentu saja keseimbangan dari unsur-unsur lingkungan menjadi tidak seimbang lagi.
Tanpa disadari oleh manusia, pemenuhan kebutuhan melalui berbagai macam kegiatan ini telah menimbulkan kerugian yang harus ditanggung bukan saja oleh manusia namun oleh seluruh mahluk hidup yang bersentuhan langsung dengan kegiatan tersebut. Hal ini disebabkan, kegiatan pemenuhan kebutuhan ini menyebabkan munculnya sisa-sisa hasil kegiatan yang tidak digunakan atau dibuang oleh manusia dan memberikan dampak negatif bagi lingkungan, yaitu limbah dan sampah.
Menurut WHO, sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya (Chandra, 10 April 2011,URL) . Banyak sampah organik masih mungkin digunakan kembali / pendaur-ulangan (re-using), walaupun akhirnya akan tetap merupakan bahan/ material yang tidak dapat digunakan kembali (Dainur, 1995).
Sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan sebenarnya hanya sebagian dari benda atau hal-hal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau harus dibuang, sedemikian rupa sehingga tidak sampai mengganggu kelangsungan hidup manusia dalam sebuah lingkungan.
Dari pengertian ini, dapat kita katakan bahwa sampah ialah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi yang bukan biologis (karena human waste tidak termasuk didalamnya) dan umumnya bersifat padat (karena air bekas tidak termasuk didalamnya).
Pencemaran lingkungan sendiri dapat diartikan sebagai sebuah kejadian lingkungan yang tidak dikehendaki, dimana kejadian tersebut menimbulkan gangguan atau kerusakan lingkungan bahkan dapat menimbulkan ancaman kesehatan sampai kematian.
Hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat disebut pencemaran, misalnya udara berbau tidak sedap, air berwarna keruh, tanah ditimbuni sampah. Hal tersebut dapat berkembang dari sekedar tidak diingini menjadi gangguan. Udara yang tercemar baik oleh debu, gas maupun unsur kimia lainnya dapat menyakitkan saluran pernafasan, mata menjadi pedas atau merah dan berair. Bila zat pencemar tersebut mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3), kemungkinan dapat berakibat fatal
Terkait dengan hal ini, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak dikenal istilah sampah, namun digunakan istilah Limbah sebagaimana tercantum dalam pada Pasal 1 angka 20 dikatakan bahwa “Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan”.
Banyak sekali permasalahan yang terjadi seputar pengelolaan limbah khususnya limbah hasil kegiatan industri yang mengandung unsur bahan berbahaya dan beracun (B3). Kasus-kasus yang cukup menonjol mengenai pengelolaan limbah B3 ini diantaranya adalah kasus import limbah / sampah oleh PT.Kertas Internasional pada 2005, kasus impor limbah B3 di Pulau Galang Baru pada tahun 2008, dan kasus impor limbah di Batam yang dilakukan oleh PT.Jase Octavia Mandiri (JOM) pada tahun 2009.
Kasus-kasus tersebut merupakan sebagian kecil contoh kasus pelanggaran mengenai lingkungan hidup dari aspek pencemaran limbah B3. Bahan berbahaya dan beracun menjadi sebuah ancaman bagi kelestarian lingkungan yang memerlukan keseimbangan dalam lingkaran rantai ekosistem.
Limbah industri baik berupa gas, cair maupun padat umumnya termasuk kategori
atau dengan sifat limbah B3.
Kegiatan industri disamping bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, ternyata juga menghasilkan limbah sebagai pencemar lingkungan perairan, tanah, dan udara. Limbah cair, yang dibuang ke perairan akan mengotori air yang dipergunakan untuk berbagai keperluan dan mengganggu kehidupan biota air. Limbah padat akan mencemari tanah dan sumber air tanah.
Limbah gas yang dibuang ke udara pada umumnya mengandung senyawa kimia berupa SOx, NOx, CO, dan gas-gas lain yang tidak diinginkan. Adanya SO2 dan NOx diudara dapat menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat menimbulkan kerugian karena merusak bangunan, ekosistem perairan, lahan pertanian dan hutan.
Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang sangat ditakuti adalah limbah dari industri kimia. Limbah dari industri kima pada umumnya mengandung berbagai macam unsur logam berat yang mempunyai sifat akumulatif dan beracun (toxic) sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia (Dinkesjatim,10 April 2011,URL)
Permasalahan limbah B3 inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan kajian mengenai limbah B3 sebagai salah satu unsur perusak keseimbangan lingkungan hidup. Limbah B3 secara nyata telah menciptakan dampak negatif bagi lingkungan hidup serta kelangsungan hidup dari semua mahluk hidup yang ada.
Dapat kita bayangkan berapa limbah hasil industri yang dikeluarkan atau dibuang setiap harinya ke lingkungan baik di darat, air maupun udara dan berapa jumlah limbah B3 yang terkandung didalam limbah buangan industri tersebut. Kondisi ini lebih diperparah dengan banyaknya kegiatan impor limbah dari luar negeri yang pada kenyataanya banyak sekali mengandung B3. Limbah-limbah tersebut tentu saja akan merusak lingkungan hidup tempat kita dan generasi penerus kita akan hidup dan bertempat tinggal.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian, Jenis, dan Karakteristik
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 Limbah B3 didefinisikan sebagai setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung dapat merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan manusia.
Pengertian ini selaras dengan pengertian limbah B3 sebagaimana yang tercantum dalam UU No.32 Tahun 2009 Pasal 1 angka 21 yang menyatakan bahwa :
Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
Pada bagian lain, mengacu pada PP 18 Tahun 1999 tentang pengelolaan limbah B3, dikatakan bahwa pengertian limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, keangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
Pengertian-pengertian diatas bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa semua limbah yang sesuai dengan definisi tersebut dapat dikatakan sebagai limbah B3 kecuali bila limbah tersebut dapat mentaati peraturan tentang pengendalian air dan atau pencemaran udara.
Limbah B3 diidentifikasi sebagai bahan kimia dengan satu atau lebih karakteristik. Menurut sifat dan karakternya, limbah B3 dibedakan menjadi : (1) mudah meledak; (2) mudah terbakar; (3)bersifat reaktif; (4) beracun; (5) penyebab infeksi; dan (6) bersifat korosif.Sedangkan ditinjau dari sumbernya, maka limbah B3 dikategorikan menjadi 3 (tiga) yaitu limbah B3 sumber spesifik,sumber tidak spesifik, dan bahan kimia kadaluarsa; tumpahan; sisa kemasan; buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
1. Limbah mudah meledak diartikan sebagai limbah yang melalui reaksi kimia dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan.
2. Limbah mudah terbakar adalah limbah yang bila berdekatan dengan api,percikan api, gesekan atau sumber nyala lain akan mudah menyala atau terbakar dan bila telah menyala akan terus terbakar hebat dalam waktu lama.
3. Limbah reaktif merupakan limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepaskan atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi.
4. Limbah beracun adalah limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.
5. Limbah yang menyebabkan infeksi adalah limbah laboratorium yang terinfeksi penyakit atau limbah yang mengandung kuman penyakit, seperti bagian tubuh manusia yang diamputasi dan cairan tubuh manusia yang terkena infeksi.
6. Limbah yang bersifat korosif adalah limbah yang menyebabkan iritasi pada kulit atau mengkorosikan baja, yaitu memiliki pH sama atau kurang dari 2,0 untuk limbah bersifat asam dan lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat biasa (wikipedia,3 April 2011,URL).
B. Pengelolaan Limbah B3
Keberadaan B3 yang berdampak negatif bagi lingkungan inilah yang melatarbelakangi perlunya payung hukum dalam hal pengelolaan limbah B3, hal ini ditambah lagi dengan fakta bahwa Indonesia telah menjadi salah negara tempat pembuangan limbah B3 dari negara lain (Agustina,2006:4).
Pengeolaan limbah B3 adalah hal yang penting dan dan harus dilakukan oleh setiap industri yang menghasilkannya. Dalam pengelolaan limbah B3 ini, prinsip pengelolaan dilakukan secara khusus yaitu from cradle to grave. Pengertian from cradle to grave sendiri adalah pencegahan pencemaran yang dilakukan dari sejak dihasilkannya limbah B3 sampai dengan di timbun / dikubur (dihasilkan, dikemas, digudangkan / penyimpanan, ditransportasikan, di daur ulang, diolah, dan ditimbun / dikubur).
Pada setiap fase pengelolaan limbah tersebut ditetapkan upaya pencegahan pencemaran terhadap lingkungan dan yang menjadi penting adalah karakteristik limbah B3 nya, hal ini karena setiap usaha pengelolaannya harus dilakukan sesuai dengan karakteristiknya.
(sumber : Haruki Agustina, Pengelolaan dan Pengendalian Limbah B3)
Pengelolaan limbah B3 ini harus dilakukan oleh setiap industri yang menghasilkan limbah B3 pada setiap kegiatan/usahanya. Tujuan dari pengelolaan dan pengolahan limbah B3 ini secara umum dapat dikatakan adalah untuk memisahkan sifat berbahaya yang terdapat dalam limbah tersebut.
Hal ini harus dilakukan agar limbah B3 ini tidak mencemari ataupun merusak lingkungan hidup tempat dimana mahluk hidup berada. Dengan adanya pengelolaan dan pengolahan limbah B3 ini, barulah limbah tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lebih lanjut.
Pemanfaatan limbah ini sendiri dapat berupa penggunaan kembali atau Reuse, daur ulang atau Recycle, dan perolehan kembali atau Recovery. Pemanfaatan ini harus berpedoman pada prinsip agar aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan, memiliki proses produksi yang handal serta memiliki standard produk mutu yang baik.
Untuk limbah B3 yang sudah tidak dapat dimanfaatkan atau diolah kembali maka harus ditimbun di landfill. Penimbunan limbah ini harus dilakukan oleh sebah badan usaha yang telah mendapatkan ijin dari KLH serta dengan melaporkan kegiatan penimbunan tersebut.
C. Dasar Hukum
Mengingat begitu pentingnya permasalahan pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 ini, maka pemerintah memandang perlu untuk membuat peraturan perundang-undangan guna mengatur limbah B3 ini. Peraturan-peraturan tersebut diantaranya adalah :
1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. PP RI Nomor 18 Tahun 1999 Jo. PP Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai revisi dari PP RI Nomor 19 Tahun 1994 Jo. PP RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pengelolaan Limbah B3.
3. Kepdal 01/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3.
4. Kepdal 02/BAPEDAL/09/1995 tentang Dokumen Limbah B3.
5. Kepdal 03/BAPEDAL/09/1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah B3.
6. Kepdal 04/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan dan Lokasi Penimbunan Limbah B3.
7. Kepdal 05/BAPEDAL/09/1995 tentang Simbol dan Label.
8. Kepdal 68/BAPEDAL/05/1994 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin Pengelolaan Limbah B3.
9. Kepdal 02/BAPEDAL/01/1998 tentang Tata Laksana Pengawasan Pengelolaan Limbah B3.
10. Kepdal 03/BAPEDAL/01/1998 tentang Program Kendali B3.
11. Kepdal 255/BAPEDAL/08/1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan Penyimpanan dan Pengumpulan Minyak Pelumas Bekas.
Peraturan-peraturan mengenai pengelolaan limbah B3 diatas diharapkan dapat mencegah, mengurangi, serta mengontrol keberadaan limbah B3 di lingkungan masyarakat.
Mengacu pada ketentuan undang-undang lingkungan hidup, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi perhatian kita bersama. Hal ini terutama mengenai pengelolaan dan pengolahan limbah B3, sebagaimana dikatakan pada pasal 58 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 bahwa :
Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3.
Pasal tersebut tidak sekedar ditujukan kepada pihak-pihak yang melakukan kegiatan dan menghasilkan limbah B3, namun juga ditujukan kepada badan usaha yang melakukan import limbah dari luar negeri menuju ke Indonesia.
Lebih lanjut dikatakan pada pasal 69 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2009 bahwa terdapat beberapa larangan mengenai keberadaan limbah B3 khususnya yang berada di Indonesia. Selain itu, diatur pula mengenai tanggung jawab mutlak (strict liability) dari pengelolaan limbah B3, hal ini sebagaimana diatur pada pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa :
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Tanggung jawab mutlak atau strict liability adalah unsur kesalahan yang tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal 88 ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Sedangkan yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundangundangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
Selanjutnya ketentuan pidana mengenai pelanggaran pengelolaan dan pengolahan limbah B3 itu sendiri diatur pada Pasal 102 s.d. 106. Sebagai contoh mengenai pengelolaan limbah B3 dengan tanpa ijin maka ancaman minimalnya adalah pidana penjara 1 tahun dan maksimal 3 tahun dengan denda minimal 1 milyard rupiah dan paling banyak 3 milyar rupiah.
Tidak cukup sampai disitu, pelanggaran terhadap kegiatan/usaha yang memasukan limbah B3 kedalam wilayah NKRI juga diganjar dengan ancaman hukuman yang cukup berat. Hal ini sebagaimana disampaikan dalam pasal 105 UU Nomor 32 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa :
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Dengan keberadaan ancaman pidana yang cukup berat ini, maka diharapkan tidak terjadi lagi pelanggaran terhadap pengelolaan dan pengolahan limbah B3 di lingkungan masyarakat.
III. PENUTUP
Pengolahan dan pengelolaan limbah B3 memang memerlukan perhatian lebih dari semua pihak yang terkait. Keberadaan limbah B3 yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup mahluk hidup harus dikendalikan.
Pengolahan sendiri mengacu pada pemanfaatan hasil kegiatan/usaha yang menciptakan limbah B3 apakah dapat untuk digunakan kembali atau tidak. Sedangkan pengelolaan lebih tertuju pada pengawasan dan pengendalian limbah B3 yang terdapat di lingkungan hidup. Masih banyaknya terjadi pelanggaran terhadap pengelolaan serta persyaratan pengolahan limbah B3 menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap keberadaan limbah B3 ini, padahal kerawanan yang dimunculkannya dapat merusak lingkungan tempat mahluk hidup tinggal.
DAFTAR PUSTAKA
UU RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Agustina,Haruki.2006. Pengelolaan dan Pengendalian Limbah B3, Materi Pelatihan Audit Lingkungan.
Wijanto,Sigit.2003. Limbah B3 dan Kesehatan, Makalah perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Download Internet Universitas Sumatera Utara, 2008. Sampah Industri pada http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20777/4/Chapter%20II.pdf tanggal 10 April 2011 pukul 14.57 wib.
Download Internet Dinkesjatim,2011. Limbah B3 dan Kesehatan, pada http://www.dinkesjatim.go.id/images/datainfo/200504121503-LIMBAH%20B-3.pdf tanggal 10 April 2011 pukul 15.40 wib.
Download Internet Wikipedia,2009. Limbah beracun pada http://id.wikipedia.org/ wiki/Limbah_beracun tanggal 3 April 2011 pukul 20.00 wib.
0 comments:
Post a Comment